Cinta …kata-kata ini saat ini sangatlah mendominasi. Cinta bisa
mengalahkan segalanya, cinta adalah sumber kehidupan, cinta adalah
penerang…begitu katanya. Tapi apakah memang seperti itu kenyataannya.
Dalam al-Qur’an Allah sudah jelas sekali mendudukkan cinta ini, bagaimana cinta seorang hamba terhadap Allah dan Rasulnya, cinta seorang orang tua terhadap anaknya, cinta seseorang terhadap harta dan perniagaannya, dan bagaimana cinta seseorang terhadap saudaranya dan bagiamana pula cinta seorang Islam terhadap orang kafir. Allah menjelaskan hal ini dengan gamblang dan terperinci.
“Katakanlah: ‘Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.’ Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (Qs. Ali Imran [3]: 31)
“Katakanlah: ‘jika bapa-bapa, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.’ Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik”. (Qs. At Taubah [9]: 24)
Ketika membicarakan cinta, saat ini masyarakat diarahkan untuk
menjadikan cinta yang lebih utama dibandingkan apapun. Kita lihat
sinetron-sinetron saat ini, atas nama cinta, tidak lagi perduli apakah
seseorang itu sudah ada yang memiliki atau tidak. Seperti dalam
sinetron the bold and the beautiful, atas nama cinta seorang ibu tega
terhadap anaknya sendiri, karena dia sudah terlanjur cinta sama suami
anaknya dan bahkan bapak dari cucunya sendiri akhirnya dia menikahi suami anaknya tersebut, masyaAllah…dan atas nama
cinta juga seorang laki-laki menikah dengan laki-laki dan seorang
perempuan menikah dengan perempuan, naudzubillahhimindhalik
Tapi disisi yang lain, film-film juga mengajarkan bahwa cinta itu
adalah menerima orang apa adanya, dan mencintainya dengan sepenuh hati,
kalau bisa sehidup semati. Seperti dalam film Romeo and Juliet, karena
saling mencintai dan tidak ingin dipisahkan akhirnya mereka mati
bersama. Mereka tidak lagi peduli apakah maninggalnya mereka dengan
cara yang benar (Husnul khotimah) atau cara yang bathil, tapi atas nama
cinta semuanya begitu terasa haru dan bahkan terkadang kita terhanyut
dan akhirnya membenarkan saja apa yang mereka lakukan. Lain lagi dengan
film Bridget Jone’s Diary, disitu digambarkan, seorang Mark Darcy yang
begitu sempurna, dia seorang top lawyer di England karena begitu
mencintai si Bridget (Renée Zellweger) dia menerima si Bridget dengan
sepenuh hati, meskipun si Bridget orangnya gendut, suka berbuat yang
memalukan dll. Bahkan Si Darcy rela melakukan apa saja untuk membuat
Bridget senang. Duh begitu indahkan cinta….
Pada kenyataannya, cinta tidaklah seindah apa yang digembor-gemborkan.
Pada faktanya si Renée Zellweger pada kehidupan nyatanya dia harus
berpisah dengan suaminya, karena dia tidak mau menguruskan badan dia
kembali seperti semula (itu kata suatu majalah, tidak tahu kepastian
kebenarannya). Dan banyak sekali contoh kehidupan disekeliling kita,
ketika girl friendnya bunuh diri apakah lantas boy friendnya ikut bunuh
diri juga…ndak kan, bahkan kebanyakan mereka cari pasangan lain lagi,
yang mati..ya mati sia-sia saja.
Begitu juga ketika kita menikah, apakah lantas cinta suami itu milik
istri sepenuhnya atau cinta istri milik suami sepenuhnya, duh…tak tahu
lah. Mungkin seorang pasangan pernah membicarakan tentang poligami
(yang itu mubah dalam Islam, dan saat ini diopinikan seakan-akan hal
yang merugikan wanita). Ketika berbicara poligami saat ini seakan-akan
pihak perempuan adalah pihak yang merugi, dan pihak laki-laki
digambarkan sebagai sosok yang serakah dan sebagainya. Jadi seakan-akan
cinta itu haruslah mendominasi, seluruh kehidupan. Sampai-sampai hukum
Allahpun kalau berdasarkan cinta merugikan, maka hukum Allah itu akan
dianggap suatu hal jelek, masyaAllah…
Begitulah akibat dari sistem kapitalis saat ini, segala sesuatu diukur
berdasarkan kenikmatan materi belaka. “Cinta” adalah salah satu ide
yang dihembuskan kepada ummat Islam saat ini. Saat ini ide tersebut
sangat berhasil mempengaruhi kaum muslimin, dan terutama kalangan
pemudanya.
Islam datang seperangkat hukum yang lengkap dan jelas. Dalam
permasalahan cinta inipun Islam punya aturannya. Nah coba mari kita
membuka kembali al-Qur’an tentang pembahasan cinta ini.
Bagaimana Islam menempatkan cinta?
Dalam al-Qur’an Allah sudah jelas sekali mendudukkan cinta ini, bagaimana cinta seorang hamba terhadap Allah dan Rasulnya, cinta seorang orang tua terhadap anaknya, cinta seseorang terhadap harta dan perniagaannya, dan bagaimana cinta seseorang terhadap saudaranya dan bagiamana pula cinta seorang Islam terhadap orang kafir. Allah menjelaskan hal ini dengan gamblang dan terperinci.
Wujud cinta seorang hamba terhadap Allah dan Rasulnya, tiada lain
hanya dengan cara mengikuti syari’at yang telah ditetapkan oleh Allah.
“Katakanlah: ‘Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.’ Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (Qs. Ali Imran [3]: 31)
Cinta hamba terhadap Allah dan Rasulnya, mengalahkan terhadap cintanya
kepada yang lainnya, tak terkecuali anak dan istrinya bahkan jiwanya.
“Katakanlah: ‘jika bapa-bapa, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.’ Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik”. (Qs. At Taubah [9]: 24)
Bagaimana ketika kita murtad (tidak lagi memeluk ajaran Allah), Allah
tidaklah membutuhkan cinta kita, tapi kitalah yang membutuhkan cintaNya.
“Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad
dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah
mencintai mereka dan merekapun mencintaiNya, yang bersikap lemah lembut
terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang
kafir, yang berjihad dijalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan
orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada
siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya), lagi
Maha Mengetahui”. (Qs. Al Maidah [5]: 54)
Terhadap saudara kita seaqidah, haruslah kita mencintainya seperti
kita mencintai diri kita sendiri, bahkan lebih dari cinta kita terhadap
diri kita sendiri.
Hal ini sudah dicontohkan oleh para sahabat, yaitu
persahabat antara kaum Anshor dan Muhajirin. Betapa cinta mereka
terhadap saudaranya, kaum Anshor rela memberikan apa saja yang mereka
punyai meskipun diri mereka dalam keadaan susah.
“Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman
(Anshor) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka (Anshor)
‘mencintai’ orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin). Dan mereka
(Anshor) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa
yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan
(orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka
dalam kesusahan. Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya,
mereka itulah orang orang yang beruntung”. (Qs. Al Hasyr [59]: 9)
“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor),
mereka berdoa: ‘Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara
kami yang telah beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah Engkau
membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang
beriman; Ya Rabb kami, Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha
Penyayang’” (Qs. Al Hasyr [59]: 10)
Islam juga menjelaskan bagaimana cinta kita terhadap orang kafir.
Terhadap sesama muslim kita saling berkasih sayang, namun keras
terhadap orang kafir, apalagi terhadap orang kafir yang menyerang ummat
Islam.
“Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan
dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang
sesama mereka”. (Q.s Al Fath [48]: 29)
Selain itu juga
Islam mengajarkan bagaimana cinta seorang anak
terhadap bapak ibunya.
Ibu yang telah melahirkan kita, dan bapak ibu
yang telah merawat kita sejak kita tidak mampu berbuat apa-apa. Allah
menyuruh seorang anak untuk berbakti kepada keduanya dan bersyukur
kepada Allah.
“Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang
ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan
melahirkannya dengan susah payah (pula).” (Qs. Al Ahqâf [46]:15)
“Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah,
dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua
orang ibu bapakmu, hanya kepada-Ku lah kembalimu.” (Qs. Luqman [31]:14)
Dari Abu Hurairah r.a, katanya: “Seseorang laki-laki bertanya kepada
Rasulullah Saw, “Ya, Rasulullah, siapakah dari keluargaku yang paling
berhak dengan kebaktianku yang terindah?” Jawab beliau, “Ibumu!,
kemudian ibumu, kemudian ibumu, kemudian bapakmu, kemudian yang
terdekat kepadamu, yang terdekat”.
Dan yang tidak kalah penting, didalam al-Qur’an dijelaskan juga
bagaimana cinta Allah terhadap hamba-hambanya yang beriman dan bertaqwa.
“(Bukan demikian), sebenarnya siapa yang menepati janji (yang
dibuat)nya dan bertakwa, maka sesungguhnya Allah menyukai orang-orang
yang bertakwa”. (Ali Imran [3]:76)
“Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya”. (Qs. An-Nisâ’ [4]: 69)
“Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya”. (Qs. An-Nisâ’ [4]: 69)
“Tidak ada dosa bagi orang-orang yang beriman dan mengerjakan amalan
yang saleh karena memakan makanan yang telah mereka makan dahulu,
apabila mereka bertakwa serta beriman, dan mengerjakan amalan-amalan
yang saleh, kemudian mereka tetap bertakwa dan beriman, kemudian mereka
(tetap juga) bertakwa dan berbuat kebajikan. Dan Allah menyukai
orang-orang yang berbuat kebajikan”. (Qs. al-Mâ’idah [5]: 93)
Jadi penempatan cinta itu tidaklah membabibuta, sebagai orang muslim
kita haruslah mengikuti perintah Allah, begitu juga ketika menempatkan
cinta. Kita harus menempatkan cinta terhadap Allah diatas cinta yang
lainnya, bahkah mengalahkan cinta seorang istri terhadap suaminya dan
mengalahkan cinta seorang ibu terhadap anak-anaknya. Sebagai seorang
istri, haruslah paham cinta suami tidaklah mutlaq untuk istri.
Sebagaimana penjelasan ayat-ayat diatas, ketika ada panggilan jihad
seorang suami haruslah rela meninggalkan istri dan anak-anaknya demi
melaksanakan perintah Allah yang mulia. Bahkan seorang istri haruslah
mengalah terhadap orang tua suami, karena orang tualah yang lebih punya
haq terhadap suami kita.
Seorang pemuda Islam haruslah mengerti Islam, para pemuda inilah yang
menjadi tumpuan kebangkitan Islam. Kalau sampai para pemuda Islam
dibuai dengan “cinta” yang dihembuskan oleh musuh-musuh Islam, maka
kita akan bisa menebak apa yang akan terjadi nantinya. Pemuda Islam
harus menyingkirkan virus-virus “cinta” yang tidak jelas artinya itu.
Pemuda Islam haruslah menjadikan cinta kepada Allah menjadi cinta yang
utama, berbakti kepada bapak ibunya dan bersaudara terhadap sesama
muslim. So jangan mau lagi dilenakan oleh sesuatu yang tidak jelas
artinya dan tidak jelas balasannya. Kalau kita mencintai dan dicintai
karena Allah, insyaAllah jannahlah balasannya.
Amat jelas dan terperinci sekali penjelasan Allah dalam ayat-ayatnya,
masihkan kita mengikuti arus dimasyarakat yang menjadikan cinta sebagai
tolak ukur kehidupan? Hanya al-Qur’an dan as-Sunnah sajalah yang pantas
untuk kita jadikan tolak ukur dalam kehidupan kita. Semoga ummat Islam
kembali menjadikan Islam sebagai bagian dari hidupnya kembali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Cinta